Riskal Arief
Pimred www.banrehi.com
Buku yang melecut, buku anti pengecut. Inilah intisari dari karya Yudhie Haryono. Dalam bukunya, “Demi Pancasila Demi Indonesia,” penulis menyampaikan analisis mendalam tentang dinamika ekonomi-politik Indonesia dalam bingkai ideologi Pancasila.
Yudhie, seorang pakar ekonometrika dan ideolog Pancasila, membawa perspektif kritis yang mengajak pembaca untuk memahami tantangan dan peluang Indonesia melalui kaca mata kedaulatan ekonomi dan keadilan sosial. Buku ini diawali dengan tesis provokatif yang berbunyi, “tidak setiap elite melakukan korupsi, tetapi setiap koruptor adalah elite.”
Melalui pernyataan ini, Yudhie berusaha membuka mata kita pada fakta bahwa permasalahan korupsi bukan sekadar masalah individu, melainkan persoalan sistemik yang melibatkan kelas elite penguasa.
Yudhie dengan tegas menyatakan bahwa Indonesia sedang mengalami “keterjajahan ekonomi” oleh para aktor neoliberalis. Dalam pandangan Yudhie, neoliberalisme telah menjadikan bangsa Indonesia sebagai objek dari berbagai kepentingan ekonomi global yang merugikan. Melalui kebijakan yang cenderung pro-pasar bebas, aset dan kekayaan alam Indonesia diakumulasi dan dikuasai oleh segelintir pihak, baik domestik maupun asing.
Hal ini, menurut Yudhie, merupakan bentuk penjajahan baru yang justru semakin memperparah ketimpangan ekonomi dan kesejahteraan di Tanah Air. Dengan lugas, Yudhie menyatakan bahwa neoliberalisme bukan hanya berbahaya, tetapi juga mengancam kedaulatan dan keadilan sosial yang menjadi inti dari Pancasila.
Salah satu bab paling menarik dalam buku ini adalah “Ilusi Sejahtera via Hutang.” Di bab ini, Yudhie Haryono mengangkat isu pelik tentang ketergantungan Indonesia pada utang luar negeri untuk menutupi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Yudhie menyoroti bahwa kebijakan utang ini tidak terlepas dari kendali kartel ekonomi yang memiliki pengaruh besar dalam ranah politik Indonesia. Kartel ekonomi ini, menurut Yudhie, secara sistematis mengarahkan kebijakan ekonomi untuk terus bergantung pada pinjaman luar negeri, yang pada akhirnya membelenggu kedaulatan ekonomi bangsa.
Yudhie menggambarkan fenomena ini sebagai “ilusi kesejahteraan” karena utang pada akhirnya hanya menguntungkan sebagian kecil elite ekonomi, sementara rakyat Indonesia harus menanggung beban pembayaran beserta bunganya. Buku ini mengajak pembaca untuk memahami bahwa utang bukanlah solusi jangka panjang bagi kesejahteraan nasional. Sebaliknya, ketergantungan pada utang justru menciptakan ketidakberdayaan yang bertentangan dengan semangat berdikari yang dicanangkan dalam Pancasila.
Yudhie tidak sekadar mengkritik, tetapi juga menawarkan solusi konkret. Salah satu solusi yang ia ajukan adalah penegasan identitas bangsa. Yudhie menekankan pentingnya kesadaran bahwa Indonesia adalah bangsa yang pernah dijajah, dan bahwa pengalaman kolonialisme ini meninggalkan bekas yang mendalam. Oleh karena itu, kita perlu mengatasi segala dampak keterjajahan dan meninggalkan segala bentuk ketergantungan yang membahayakan. Bagi Yudhie, kebangkitan bangsa harus dimulai dari kesadaran kolektif akan nilai-nilai Pancasila yang menempatkan kedaulatan di atas segala kepentingan.
Sebagai seorang ideolog yang memahami betul Pancasila, Yudhie melihat bahwa penguatan identitas kebangsaan dapat menjadi benteng untuk melawan arus neoliberalisme yang masuk dari luar. Penegasan identitas bukan hanya sebatas simbolisme, melainkan tindakan nyata yang diwujudkan dalam bentuk kebijakan dan perilaku politik yang berorientasi pada kepentingan nasional. Yudhie mendorong para pembaca untuk kembali menghayati nilai-nilai Pancasila secara utuh, sehingga Pancasila tidak hanya menjadi slogan, tetapi menjadi roh dalam setiap pengambilan keputusan.
Buku ini ditutup dengan ajakan yang sangat personal dari Yudhie. Ia mengajak kita semua untuk bersama-sama menjalankan “tugas kenabian,” yaitu melawan kezaliman. Dalam konteks ini, kezaliman yang dimaksud Yudhie bukan hanya ketidakadilan sosial, tetapi juga penindasan ekonomi yang terjadi secara struktural. Bagi Yudhie, perjuangan melawan kezaliman adalah bagian dari tanggung jawab moral setiap warga negara, terutama dalam memperjuangkan nilai-nilai Pancasila yang menjunjung tinggi keadilan sosial dan kedaulatan.
Secara keseluruhan, “Demi Pancasila Demi Indonesia” adalah karya yang menantang pembaca untuk berpikir ulang tentang kondisi ekonomi dan politik Indonesia saat ini. Yudhie Haryono berhasil menghadirkan narasi yang kritis namun solutif, menunjukkan bahwa Pancasila bukan hanya ideologi, tetapi juga alat perjuangan untuk melawan segala bentuk penindasan ekonomi. Buku ini sangat relevan bagi siapa pun yang peduli dengan masa depan Indonesia dan berkomitmen untuk mewujudkan Pancasila dalam kehidupan berbangsa.
Dalam gaya bahasa yang provokatif dan argumentatif, Yudhie berhasil menyampaikan pesan penting: hanya dengan kembali kepada identitas nasional dan menegaskan kedaulatan, Indonesia bisa terbebas dari belenggu keterjajahan ekonomi yang mengancam. Buku ini menjadi bacaan wajib bagi mereka yang peduli pada kedaulatan ekonomi dan peran Pancasila sebagai fondasi kehidupan bernegara.(*)