Oleh Yudhie Haryono
Presidium Forum Negarawan
Beda. Berbeda dari negara pada umumnya. Inilah alasan negara pancasila hadir di muka bumi. Di negeri pancasila, ada lima tugas pokok seorang Presiden. Pertama, presiden itu mencipta uang, bukan mencari uang (utang). Kedua, presiden itu mencipta lapangan pekerjaan, bukan mencari pekerjaan. Ketiga, presiden itu mencipta pemerataan, bukan memastikan kesenjangan/ketimpangan. Keempat, presiden itu menghadirkan keadilan, bukan mentradisikan kebrengsekan. Kelima, presiden itu menghabisi kemiskinan, bukan memelihara penjajahan.
Jika tak memahami ontologi kehadiran negeri pancasila, kita tak layak menyebut ahli waris atlantik dan nusantara. Tanpa memahami dan mempraktekkan lima dalil itu, negara swastalah yang ada dan mengemuka.
Pada negara swasta, semua kesirep. Melihat, mendengar, merasakan dan menelan investasi asing seakan-akan itu “kewajaran bin kerasionalan.” Yang kritis dan melawan investasi asing dianggap tuna intelektual, tuna adab, tuna moral, tuna mental, buta sejarah, rabun konstitusi, budek kritik dan buta realitas.
Kasus Rempang, PSN, KIK dll sebenarnya bukti bahwa tidak semua investasi itu “bener bin pener.” Kasus yang serupa walau tak sama terjadi di mana-mana dan berulang. Jadi, kurang apalagi semesta membukakan bukti agar mata batin kita jernih menempatkan investasi (asing) itu ilusi?
Laku ilusi merupakan kondisi seseorang yang salah persepsi akibat sensorik dalam tubuhnya. Alih-alih melihat sesuatu yang riil, pengidap ilusi biasanya mengalami salah persepsi terhadap rangsangan eksternal yang dialaminya.
Dalam konteks investasi, ilusi ini dikenal sebagai pseudohalusinasi dan menjadi tanda gangguan kejiwaan. Di negara Indonesia, hampir semua elitenya beriman pada investasi sebagai metoda sekaligus tujuan pembangunan tanpa kritis. Bahkan diterima tanpa dipikirkan, ditandatangani tanpa dibaca, dikerjakan tanpa dirasakan apa efek sampingnya. Itu karena elite kita mengidap gangguan kejiwaan menuju delusions of grandeur.
Para elite, karena tak benar saat sekolah, mereka tak tahu kedaulatan. Karena tak paham kedaulatan, mereka tak mengerti tupoksinya. Karena tak tahu tupoksinya, mereka ikut saja apa bisikan orang sekelilingnya. Mereka tak mengerti bahwa bernegara itu berdaulat. Bahwa berdaulat itu boleh dan bisa cetak uang untuk modal.
Lihatlah. Hanya untuk cari modal, mereka jadi pengemis ke seluruh pelosok dunia. Saat ada investor mau investasi dengan syarat usir dan bersihkan warganegara, mereka suka-suka saja. Bahkan, kerahkan serdadu yang sudah disuap serupiah dua rupiah. Ya, mereka tahu serdadu kita menyembah rupiah, membela yang bayar. Elite ekopol dan serdadu kita ini sekarang hobinya datang, duduk, dusta, destruktif, dangdutan dan dodolan plus dobolan (7D). Serakah dan tega plus khianat sesama plus khianat semesta.
Sesungguhnya, setiap investasi (asing) selalu membawa anak haram: intervensi, infiltrasi, inefesiensi, instabilisasi dan invasi (5i). Dus, ujungnya sama: silent invasion (penjajahan secara diam-diam). Bagaimana memahaminya?
Tan Malaka (1945) jauh hari sudah menulis, “jika kita tak mampu menangkap motif investasi, sesungguhnya percuma merdeka.” Sebab bagi Tan, kemerdekaan itu bermakna kedaulatan penuh di ipoleksosbudhankam dan aturan di bawahnya.
Begitu pula fatwa Sjahrir. Ia berkata, “kemanusiaan di kita itu segalanya. Sosialisme kita menjiwai keadilan, memastikan persatuan dan jadi tulang punggung ekonomi-politik. Maka kapital itu belakangan. Jika kapital datang untuk melenyapkan sosialisme, kita akan taruh di selokan.” Bung Hatta pun sebangun. Katanya, “urusan ekonomi kita itu bersendi ketuhanan dan kemanusiaan menjadi keindonesiaan. Tak ada pembangunan(isme) yang memuja kapitalisme. Investasi asing itu komplementer saja.”
Kini pikiran dan nasehat itu hilang, dihilangkan dan diganti dengan kurikulum negara syorga investasi. Semua presiden dan kabinetnya pro investasi. Bahkan caprespun janjinya akan mendatangkan investor. Mereka berkata, “ini zaman modern, kalian yang kaya cukup bawa uang. Kami beri judul investasi. Kami pastikan semua jalan sendiri.” Res-beres, kata orang Madura.
Kita lihat urusan lahan, mudah. Urusan waktu, gampang. Urusan izin, bisa diatur. Kami buatkan payung hukumnya, aturannya, undang-undangnya, perangkatnya, pelaksananya bahkan pengamanan proyeknya. Kami buat komplit satu paket. Serdadu, polisi, birokrasi siap sukseskan program itu. Investor tinggal duduk manis, datang, piknik dan disambut gemerlap berkarpet merah kebesaran.
Dalam kasus Rempang, kita lihat meskipun proyeknya memiliki potensi investasi Rp 318 triliun hingga 2080 dan sedikit lapangan pekerjaan buat warganegara, tetapi investor meminta pembersihan lahan sehingga rakyat tergusur, terusir, ditangkap, disiksa dan diadu-domba. Puluhan korban serta ada yang hilang nyawa.
Padahal, apapun bentuk investasi (apalagi investasi asing), tujuan utamanya adalah kemaslahatan dan kebahagiaan warganegara karena ada peluang untuk meningkatkan kesejahteraannya dan mendapatkan pekerjaan layak khususnya di sekitar destinasi dari investasi itu sendiri. Dus, warganegara tak boleh menjadi korban. Apalagi dicerabut dari lingkungannya. Sebaliknya mereka harus jadi subjek utama pembangunan tersebut.
Dus, investor dan investasi pembangunan di manapun dan kapan pun harus selalu berdasar pada Pancasila dan Pembukaan Konstitusi (…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia…). Tanpa itu, jangan pernah beri ruang investor berinvestasi mengatur negeri, menyuruh-nyuruh presiden dan menjadi pemilik bangsa ini.(*)