Semarang, Hariansemarang.id – Dalam menulis puisi, jika mau puisinya baik maka tidak perlu membaca rumus kimia. Hal itu diungkapkan editor puisi sekaligus sastrawan asal Pati, Niam At-Majha. Pihaknya menyampaikan bahwa selama ini banyak yang menulis puisi namun tidak memahami aspek teknis.
“Semua orang bisa nulis puisi. Syaratnya banyak baca buku puisi dan terus berlatih, sebab puisi mendahulukan rasa dan hati baru pikiran,” tegas Niam.
Dalam tahap menulis puisi, Niam menyebut bahwa perlu tahapan yang sederhana khususnya bagi pelajar. Hal itu bisa dimulai dari memahami dasar-dasar puisi dari aspek tema, gaya dan bentuk, imaji, irama dan rima. Kemudian menulis draft awal, memilih tema dan ide, mengembangkan gaya dan struktur, revisi dan editing, dan terus berlatih.
“Kalau mau menulis puisi, bacalah buku-buku puisi yang ringan-ringan. Jangan baca buku rumus Kimia yang berat, pasti tidak nyambung,” tegas dia.
Sementara itu, narasumber lain menyebut seorang penyair baik pemula atau mahir harus menyesuaikan dengan zamannya. Hal itu diungkapkan Muhammad Rois Rinaldi Penerima Anugerah Utama Penyair ASEAN (HesCom Esastera 2014-2016) dan Anugerah Puisi ASEAN (Numera, 2014) dalam Pendidikan dan Pelatihan Gerakan Literasi Karya Sastra Puisi pada Selasa (19/11/2024) melalui Zoom Meeting.
“”Puisi yang baik itu adalah yang lahir dari dunianya sendiri, bahasanya sendiri, sesuai spirit zamannya. Tentu beda kalau generasi Chairil Anwar dengan zaman gen Z sekarang,” kata Rois dalam kegiatan Gerakan Literasi Ma’arif (GLM) ke-4 tersebut.
Pihaknya menegaskan juga, bahwa puisi untuk pendidikan lebih cocok adalah dengan genre puisi didaktik. Secara konseptual, Rois menyebut bahwa puisi berangkat dari Poēsis dan Poiein. “Poesy, Poesie (Bahasa Prancis Kuno), puisi; bahasa dan gagasan puitis; sastra; sebuah sajak, sebuah bagian puisi. Poēsis komposisi, puisi, secara harafiah berarti pembuatan, fabrikasi, varian dari poiēsis, dari poein, membuat atau mengarang dalam pengertian keterampilan mencipta puisi,” kata dia.
Sedangkan penyair, kata dia, adalah seseorang yang diberkahi dengan karunia dan kekuatan penemuan dan kreasi imajinatif, disertai dengan kefasihan berekspresi yang sesuai.
Ada tiga perangkat lunak penyair yang harus dikuasai, yaitu ide sebagai representasi mental dari segala sesuatu yang terwujud. “Invensi, penemuan, dibentuk menjadi satu dunia yang utuh, dan passionate, gairah seorang penyair sebelum, saat, dan setelah menulis puisi
Rois mencontohkan dalam puisi didaktik, bisa mengembangkan dua jenis puisi yaitu puisi lirik dan puisi naratif. “Puisi lirik secara tipikal mengekspresikan perasaan personal, bahkan emosional secara musikal. Kata “lirik” berasal dari kata Yunani “lyra” (alat musik lira) dan “melic” (melodi). Puisi lirik tak mengisahkan sesuatu seperti puisi naratif, ia menggambarkan peristiwa atau aksi dunia eksternal, namun sangat fokus pada suatu subyek dan berusaha menggugah emosi pembaca. Puisi lirik harus mengahdirkan makna, suatu konsel, menuturkan esensi suatu citraan atau objek, dan menciptakan kembali dan mengubah pengalaman,” lanjut dia.
Sedangkan puisi naratif, kata Rois, adalah suatu bentuk puisi yang menuturkan sebuah cerita, sering kali menggunakan suara narator dan karakter; keseluruhan cerita biasanya ditulis dalam syair bermetrum.
Merespon hal itu, moderator GLM Part 4 Hamidulloh Ibda menyampaikan bahwa tidak hanya dalam konteks sosial, dalam menulis puisi juga harus bisa membaca spirit zaman. “Orang yang selamat adalah orang yang bisa membaca zeitgeist atau semangat zaman, termasuk pula dalam menulis puisi,” kata Ibda.
Mencipta “Zeitgeist” atau semangat zaman dalam menulis puisi, disebutkan Ibda, memerlukan pemahaman yang mendalam tentang konteks sosial, budaya, politik, dan perasaan kolektif pada suatu waktu tertentu. “Kata Zeitgeist berasal dari bahasa Jerman yang bermaksud roh zaman atau semangat zaman, dan merujuk kepada nilai, pemikiran, dan perasaan yang meluas di kalangan masyarakat pada suatu tempo waktu,” ujar dia.
Pihaknya juga menyebut, menulis puisi tidak cukup menggunakan pendekatan linguistik, namun juga filsafat, ilmu mantik, sosiologi, dan pedagogi. Usai penyampaian materi, kegiatan dilanjutkan dengan diskusi dan tanya jawab bersama kedua narasumber. (*)