![]() |
Dian Marta Wijayanti.dok. |
Oleh Dian Marta Wijayanti SPd
Mendukung Direktorat Keluarga Kemdikbud memang tidak hanya dilakukan guru, namun perlu semua kalangan. Sebab, hadirnya direktorat ini memberi peran besar terhadap kemajuan pendidikan di Indonesia, apalagi pusat dan pendidikan pertama bagi anak adalah keluarga. Anak bisa pandai dan bermoral dimulai dan disemai dalam lingkungan keluarga.
Kehadiran pembinaan keluarga memang sangat penting. Pasalnya, pendidikan tidak hanya cukup diberikan di sekolah. Justru keluarga adalah pemegang kendali penting bagi perkembangan anak. Jika anak lebih banyak mendapatkan wawasan (kognitif) di sekolah. Maka sikap (afektif) dan keterampilan (psikomotorik) lebih banyak diimplementasikan di masyarakat.
Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga merupakan direktorat baru di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat ini memiliki empat subdirektorat, yaitu Program dan Evaluasi, Pendidikan Bagi Orangtua, Pendidikan Anak dan Remaja, dan Kemitraan. Tujuan dari direktorat ini adalah menangani perilaku bullying, pendidikan penanganan remaja, penguatan prestasi belajar, pendidikan karakter dan kepribadian, pendidikan kecakapan hidup, serta pendidikan pencegahan perilaku destruktif.
Ketimpangan
Selama ini, pendidikan di sekolah lebih banyak mendapatkan perhatian. Dengan rutin pemerintah memberikan diklat/pelatihan kepada guru dengan visi peningkatan kualitas. Sementara pelatihan-pelatihan itu berlangsung di berbagai tempat, ada satu hal yang dilupakan. Pembinaan pendidikan di keluarga masih kurang memperoleh perhatian. Maka tidak salah jika hasil pendidikan masih terkesan “pincang”. Tri pusat pendidikan yang meliputi keluarga, sekolah, dan masyarakat hendaknya berjalan seimbang.
Diakui atau tidak, pendidikan karakter saat ini pincang. Mengapa demikian? Saat ini semakin banyak tindakan kriminal yang melibatkan anak, remaja dan pelajar. Ironisnya, mereka tidak hanya sebagai korban tapi juga sebagai pelaku.
Kerumitan perilaku remaja semakin sulit dicerna dengan logika. Hal yang tidak mungkin berubah menjadi mungkin ketika kenyataan mengungkap bahwa remaja menjadi pelaku utama kejahatan yang meresahkan masyarakat. Padahal dalam kenyataannya remaja adalah peserta didik yang sejak lama telah menjadi sasaran utama “pendidikan karakter” negeri ini.
Bahkan kurikulum terbaru pun mengarahkan pembelajaran lebih ke arah pembentukan karakter dibandingkan hanya kognitif dan psikomotorik semata. Terbukti dengan adanya kompetensi inti 1 (KI 1) yang berisi nilai religius, KI 2 nilai sosial kemanusiaan, KI 3 berisi pengetahuan dan KI 4 berisi proses pembelajaran.
Namun kenyataannya, berbagai upaya pemerintah seakan “pincang” dan pendidikan karakter yang dicanangkan belum optimal membentuk generasi muda yang berkualitas secara afeksi. Banyak orang menilai yang salah adalah gurunya, namun sebenarnya, pendidikan karakter sendiri membawa cacat bawaan dan kekacauan sistem.
Salah satu penyebab pincangnya pendidikan adalah kurangnya sinergi orang tua dan sekolah dalam menyukseskan pendidikan karakter. Pembentukan karakter anak seakan dilimpahkan begitu saja kepada sekolah. Sementara orang tua banyak yang acuh karena merasa telah selesai tanggungjawabnya. Padahal seharusnya tidak seperti itu. Sinergi orang tua dan guru di sekolah sangat penting untuk mencetak anak bermoral dan beretika.
Tidak lebih dari tujuh jam anak berada di sekolah, sementara sisanya anak menjadi pengawasan orang tua. Dalam waktu terbatas, guru tidak bisa mengawasi anak satu per satu. Sementara orang tua tentu lebih banyak memiliki waktu untuk mengawasi anak mereka masing-masing.
Sayangnya, kesibukan orang tua banyak membuat anak menjadi “tersisihkan”. Secara materi mungkin anak tercukupi, tapi tidak dengan perhatian. Padahal, dalam ilmu psikologi, anak tidak bisa tumbuh pesat tanpa perhatian orang tua. Karena hakikatnya, manusia tak bisa hidup tanpa perhatian orang di sekitarnya.
Kebiasaan yang dibawa anak di sekolah merupakan cerminan sikap anak di rumah. Jika di rumah anak sering diacuhkan oleh keluarga, bukan tidak mungkin anak juga akan acuh kepada teman-teman dan gurunya. Jika anak sering mendengar pertengakaran kedua orangtuanya, bisa dipastikan anak menjadi terbiasa ketika dihadapkan pada “keributan”.
Tidak hanya itu, tutur kata anak zaman sekarang sudah sangat jauh berbeda dengan anak zaman dulu. Hal ini tidak bisa begitu saja menyalahkan guru dalam menyukseskan “pendidikan karakter” di sekolah. Pasalnya, bagaimana pun porsi anak di luar sekolah tentu lebih lama dibandingkan ketika di sekolah.
Zaman dulu, untuk berjalan di depan guru saja anak merasa takut. Sementara saat ini, anak dengan lantang berani “menyerobot” guru yang berjalan tanpa ada sopan santun. Begitu pula dengan tutur kata yang dipilih anak. Berbagai bentuk kata-kata kotor sering menjadi pilihan anak karena lingkungan yang membentuknya. Pengaruh lingkungan yang besar harus dihadapi dengan bijak. Sangat disayangkan jika anak-anak dibiarkan berkembang tanpa ada sinergi yang pas antara keluarga, sekolah dan masyarakat.
Urgensi
Keluarga merupakan awal pendidikan diberikan karena setiap anak dilahirkan di keluarga. Sebelum mengenal sekolah, anak terlebih dahulu mendapatkan pendidikan di dalam keluarga. Di sinilah pondasi pendidikan dibentuk. Dari keluarga anak memperoleh banyak hal. Anak belajar kasih sayang, toleransi, kejujuran, kedisiplinan, bertutur katadan berbagai nilai-nilai kemuliaan di dalam keluarga.
Pendidikan di keluarga memang jauh berbeda dengan pendidikan di sekolah. Pendidikan di keluarga tidak memerlukan ruang dan alat peraga khusus. Orang tua juga tidak memerlukan papan tulis untuk memberikan materi pembelajarannya. Selain itu, waktu yang digunakan juga lebih fleksibel.
Pembelajaran bisa dilakukan kapan saja. Pendidikan di keluarga dilakukan dengan menggunakan prinsip “kasih sayang”. Tidak ada panggilan “guru” dan “siswa”. Di dalam keluarga tidak ada yang menjadi guru maupun siswa. Walaupun secara usia “ayah” dan “ibu” lebih tua, tapi bukan berarti mereka boleh menang sendiri. Suasana kekeluargaan hendaknya mengedepankan rasa Sali ngmenghargai tanpa adanya pemaksaan.
Pada dasarnya keluarga merupakan sumber teladan bagi anak. Keluarga adalah institusi pertama yang membentuk keyakinan dan agama seseorang. Melalui keluarga yang “sadar agama”, anak akan belajar nilai-nilai ketuhanan. Iman yang kuat akan menjauhkan anak dari perilaku-perilaku tercela di sekolah maupun masyarakat. Maka, orang tua dituntut keteladanannya dalam kehidupan sehari-hari. Baik orang tua dengan ayah dan ibu maupun orang tua tunggal hendaknya mampu memberi contoh dan mengajarkan kepada anak.
Sama halnya dengan guru sebagai pendidik di sekolah. Penduduk berusia dewasa perlu memperoleh wawasan dan pemahaman untuk mendidik anak sejak janin hingga dewasa. Faktanya, pendidikan memang tidak dapat berjalan begitu saja. Sebagai contoh adalah selfcontrolled pada anak.
Anak yang tidak pernah diajari “berinteraksi” akan kesulitan ketika harus hidup di tengah-tengah masyarakat. Kesulitan bersosialisasi dengan orang lain akan merugikan anak dalam menguasai dirinya sendiri. Dengan dibentuknya direktorat keluarga, maka pemerintah telah memberikan signal positif untuk memenuhi kebutuhan pendidikan.
Penulis adalah Guru SDN Sampangan 01 UPTD Gajahmungkur Kota Semarang