Oleh: DespanHeryansyah, SHI., MH.
Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor FH UII YOGYAKARTA dan Peneliti pada Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII
Tulisan ini dibuat untuk menanggapi wacana pembatalan sejumlah PERDA (Peraturan Daerah) yang beberapa waktu lalu dilontarkan oleh pemerintahan Jokowidodo, dalam hal ini melalui Menteri Dalam Negeri.
Salah satu keberhasilan yang dicapai oleh bangsa Indonesia pada masa reformasi adalah perubahan konstitusi Indonesia (constitutional reform). Hal ini menerobos logika publik yang pada masa pemerintahan orde baru menganggap “keramat dan sakral” UUD 1945 sehingga tidak boleh dilakukan perubahan. Salah satu agenda perubahan konstitusi yang juga berhasil dilaksanakan adalah pengaturan hubungan pusat dan daerah (otonomi daerah). Masa orde baru adalah sejarah kelam bagi perkembangan otonomi daerah Indonesia, orde baru menjadikan pemerintahan begitu sentralistik juga menjadikan pemerintah daerah tidak berdaya, kondisi ini mengakibatkan ketimpangan yang sangat jauh antara pusat dan daerah dari berbagai aspeknya.
Setelah melalui perdebatan panjang dalam sidang Paripurna MPR, akhirnya disepakati Indonesia menganut prinsip otonomi yang luas, dengan memberikan kebebasan dan kemandirian bagi pemerintah daerah untuk mengurus urusan pemrintahannya sendiri. Kurang lebih begitu makna yang terkandung dalam Pasal 18, 18A, dan 18B UUD Tahun 1945. Pengaturan mengenai pemerintahan daerah ini kemudian diderivasikan ke dalam UU, yaitu UU No 22 Tahun 1999, UU No 32 Tahun 2004, UU No 12 Tahun 2008, dan terakhir UU No 23 Tahun 2014.
Konsepsi Otonomi Daerah
Dalam konsepsi otonomi daerah atau desentralisasi, prinsip utama yang tidak boleh dihilangkan adalah kemandirian dan kebebasan daerah untuk menentukan kebijakan dan mengurus urusannya sendiri. Mandiri dalam arti lepas dari intervensi pusat dan bebas dalam arti sesuai keinginan serta kebutuhan pemerintahan daerah. Hal ini berlaku untuk semua bidang kecuali yang dinyatakan menjadi kewenangan pemerintah pusat oleh peraturan perundang-undangan. Telah disepakati bersama bahwa kewenangan yang tidak didesentralisasikan kepada pemerintah daerah dan sepenuhnya dikendalikan oleh pemerintah pusat mencakup enam hal, yaitu bidang pertahanan, keamanan, politik luar negeri, fiskal dan moneter, agama, dan peradilan. Di luar keenam bidang tersebut diserahkan kepada daerah untuk mengaturnya sesuai dengan kebutuhan dan kekhasan masing-masing daerah. Namun demikian, kewenangan daerah untuk mengatur tersebut tetap memiliki rambu-rambu yang dijadikan sebagai pedoman dalam pelaksanaannya, yakni UUD 1945 baik dalam pembukaan maupun batang tubuh, terutama nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Perda Sebagai Wadah Hukum Masalah Lokal
Wadah hukum yang dijadikan oleh pemerintah daerah sebagai kerangka dalam melaksanakan kewenangannya tersebut adalah Perda (Peraturan Daerah). Perda memiliki daya ikat yang sama dengan undang-undang, hanya saja cakupannya yang lebih sempit yaitu mengikat masyarakat lokal. Dalam hal ini, berkaca pada keragaman masyarakat Indonesia dari berbagai aspeknya, sudah barang tentu kebutuhan antara masing-masing daerah dengan kebutuhan pusat berbeda. Dapat saja terjadi perbenturan antara peraturan yang dibuat oleh pusat dengan peraturan yang dibuat oleh daerah. Hal ini sangat memungkinkan mengingat pengaturan yang dibuat oleh pusat adalah berkaca pada kondisi secara nasional yang digeneralisasi (dalam bentuk UU, PP, Perpres, atau Permen), sedangkan peraturan daerah mengacu pada kebutuhan masing-masing daerah secara lokal (dalam bentuk Perda). Pertanyaannya adalah jika hal tersebut terjadi, bagaimana solusinya?
Indonesia memang menganut teori berjenjang yang dicetuskan oleh Hans Kelsen, dimana peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, jika ada ada peraturan yang lebih bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi maka peraturan yang lebih rendah itu menjadi batal. Namun dalam hal hubungan pusat dan daerah, teori di atas tidak dapat secara membabi buta diterapkan, tidak berarti peraturan yang dibuat oleh pusat (dalam bentuk UU, PP, Perpres, atau Permen) ini serta merta dapat membatalkan peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah (Perda). Mengingat keberadaan peraturan ditingkat pusat dibuat untuk mengatasi masalah ditingkat nasional secara umum, sedangkan peraturan ditingkat daerah, khusus untuk mengatasi masalah-masalah ditingkat lokal saja. Contoh yang sangat konkrit misalkan terkait dengan larangan peredaran miras oleh beberapa daerah dalam bentuk perda.
Oleh karena itu, Menteri Dalam Negeri dalam wacana pembatalan beberapa perda belakangan ini harus bertindak secara hati-hati. Harus diperhatikan dengan cermat apakah suatu perda benar-benar bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, ataukah keberadaan perda tersebut adalah untuk mengatasi masalah-masalah ditingkat lokal dan memang sangat dibutuhkan oleh pemda. Jangan sampai Menteri Dalam Negeri melupakan bagaimana konsepsi dan ruh bangunan otonomi daerah dinegeri ini dibangun, karena hal ini menyangkut keutuhan NKRI sebagai sebuah negara.