Oleh Basuki, tunanetra total
Satu pertanyaan yang sering saya tanyakan ke audiens ketika menjadi narasumber di sebuah acara.
“Pak, Bu, Mas, Mbak atau Dik. Apakah yang pertama kali kalian lakukan Ketika siang hari ada seorang tunanetra mengetuk pintu rumahmu?”
Dan sebuah jawaban yang ‘jujur’ tercetus dari seorang siswa SMP swasta di Semarang.
“Cari recehan Pak.”
Pengalaman nyata pun pernah saya alami. Satu ketika saya ingin main catur. Saya beli papan catur dan mencoba untuk memodifikasinya agar saya bisa merabanya ketika main. Saya butuh paku, maka saya didampingi anak saya yang masih SD saat itu pergi ke toko bangunan. Saya kaget ketika anak saya ngomong dengan nada agak sungkan, “Maaf tidak Bu kami ingin beli paku,”
Kemudian anak saya membisiki saya kalau dia disodori uang seribu rupiah.
Kejadian-kejadian sejenis masih banyak. Dan itu memberikan gambaran kepada kita bahwa stigma masyarakat belum terlalu jauh bergerak dari asumsi lama bahwa orang seperti saya ini harus dibantu.
Dan itu bagus menurut saya. Artinya, kepedulian masyarakat dan keinginan untuk membantu sesama masih cukup tinggi. Tergantung kita saja yang mengarahkan ‘kepeduliaan dan keinginan untuk membantu’ itu dengan cara yang lebih tepat. Masalah kemudian kejadian seperti itu dianggap sebagai sebuah ‘penghinaan’ terhadap orang seperti saya adalah hal yang berbeda.
Hinaan atau keakraban
Bahwa saya tunanetra adalah fakta. Keakraban akan sapaan ataupun sebutan berdasarkan fakta hampir menghilang dalam pergaulan sehari-hari. Dengan dimunculkannya beberapa istilah dan peraturan, membuat was-was dalam menyebut atau menyapa orang seperti saya ini.
Dulu, orang seperti saya disebut sebagai penyandang cacat. Dan istilah itu resmi di gunakan dalam UU No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Dan ragam istilah pun banyak juga. Dalam bahasa Indonesia kita mengenal sebutan orang buta dan tunanetra. Dalam Bahasa Jawa jauh lebih spesifik lagi dan merujuk pada kondisi penglihatan dan cara melihat. Ada cadok, blawur, picek, wuto, kero.
Istilah penyandang cacat yang selama ini dipakai dirasa kurang tepat. Dan kemudian munculah beberapa istilah pengganti yang diharapkan bisa menggambarkan kesetaraan. Istilah yang banyak digunakan saat ini adalah difabel dan disabilitas.

Difabel
Different ability people atau yang sering disingkat menjadi difabel adalah orang yang melakukan sesuatu yang sama dengan cara yang berbeda sebagaimana dilakukan orang pada umumnya. Cara yang berbeda ini disebabkan karena memang kondisi fisik atau non fisik yang memaksanya menggunakan cara itu.
Saya yang tunanetra, alhamdulillah, sekarang bisa mengoperasikan HP layar sentuh. Kalau pada umumnya orang mengoperasikan berdasarkan penglihatannya dan kemudian menyentuh icon yang diinginkan dilayar, maka saya mengoperasikannya berdasarkan bunyi yang muncul dari speaker, baru kemudian menyentuh layar.
Sebagaimana cerita di atas, alhamdulillah sekarang pun saya masih bisa bermain catur. Bagaimana caranya? Papan catur dan bidaknya dimodifikasi agar ketika saya raba tidak roboh.
Pada umumnya, orang berjalan menggunakan kedua kakinya. Bagaimana dengan mereka yang kedua atau salah satu kakinya tidak berfungsi? Alhamdulillah, mereka tetap bisa berjalan, bisa menggunakan kursi roda, tongkat, atau bahkan digendong.
Istilah difabel merujuk kepada subyeknya, maka kita tidak pernah mengenal istilah penyandang difabel atau orang difabel. Cukup difabel saja.
Disabilitas
Sepintas, istilah disabilitas lebih berkonotasi negatif, karena cenderung kepada ketidakmampuan seseorang yang disebabkan hambatan fungsi salah satu anggota tubuhnya. Baik hambatan fisik, mental, intelektual dan/atau sensorik.
Akan tetapi, yang harus diperhatikan adalah bahwa penggunaan istilah disabilitas tidak langsung merujuk kepada subyeknya. Hal ini bisa dilihat di UU No. 8 tahun 2016 yang menambahkan kata penyandang di depan disabilitas untuk menunjukkan orangnya.
Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama, yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. (UU No. 8 tahun 2016)
Jadi, orang seperti saya ini disebut penyandang disabilitas sensorik mata/netra. Cukup Panjang, kan, sebutannya?
Lantas, apakah yang dimaksud dengan disabilitas?
Kalau merujuk UU No. 8 tahun 2016 di atas, maka yang dimaksud disabilitas adalah interaksi antara hambatan fungsi tubuh seseorang dengan hambatan lingkungan.
Saya memiliki hambatan fungsi sensorik mata. HP layar sentuh tidak punya tombol kecuali power dan volume. Interaksi saya dengan HP layar sentuh itu menunjukkan bahwa saya sama sekali tidak bisa mengoperasikannya. Artinya derajat kedisabilitasan saya terhadap HP layar sentuh itu sangat tinggi.
Pengembang membuat sebuah aplikasi pembaca layar. Aplikasi itu akan membacakan apa yang saya sentuh di layar. Alhamdulillah, sekarang saya bisa mengoperasikan HP itu mirip orang lain pada umumnya. Artinya, derajat kedisabilitasan saya terhadap HP layar sentuh jadi turun drastis.
Dulu, ada asumsi bahwa penyandang disabilitas ‘harus’ sekolah di Sekolah Luar Biasa. Asumsi seperti ini adalah hambatan lingkungan. Artinya derajat kedisabilitasan penyandang disabilitas untuk belajar di sekolah umum sangat tinggi.
Alhamdulillah, sekarang asumsi seperti itu sedikit demi sedikit mulai berubah, bahwa penyandang disabilitas pun bisa belajar di sekolah umum. Artinya, derajat kedisabilitasan penyandang disabilitas untuk belajar di sekolah umum mulai turun.
Dan ini penting untuk kita semua!
Karena saya suka IT, maka saya tahu bahwa jika salah satu software atau hardware di komputer kita di-disable dengan tepat maka kinerja komputer kita jadi lebih powerful.
Dan, yang men-disable fungsi tubuh kita adalah Sang Maha Tahu, Insya Allah kinerja kita pun seharusnya jadi lebih powerful.