SAAT banjir tiba. Saat kelaparan berulang. Saat minta mati. Saat rindu maut. Aku ingat senyuman. Di seputar simpang lima. Kota perjuangan. Ada pecel, tapi hanya bisa kulihat. Sakuku kosong. Sudah dua bulan daganganku gak laku. Mungkin lebih. Artikel-artikelku ditolak media. Ada yang memuat, tetapi tanpa honor. Lalu kulihat senyummu. Engkau seperti ditakdirkan penuntun hatiku.
Entah di mana kini. Sebab sudah seribu purnama tak kutemukan di mana-mana. Padahal engkau seperti pengukir jiwaku. Penyemangat hidup yang pilu. Engkau yang memberi kedamaian, tapi tak bisa kuungkapkan kepadamu. Tak bisa karena malu.
Ia kini tak ada. Hilang. Padahal saat itu kutemukan sepercik keteduhan jiwa. Penjejer keindahan. Bukan penjumlah kejahatan. Di mana engkau biar kudapatkan sebentuk kelembutan hati. Jiwa yang menyentuh sekujur tubuhku. Hati yang lemah ini mengingatmu. Pikiran yang memikirkan engkau yang hilang padahal meninggalkan senyuman. Kini kembali lukaku menganga. Berjejer nanah busuk tanpa ada obatnya. Dan, engkau tetap tak ada.
Sesudah badminton aku melihat rembulan. Mengingat apa yang telah pergi lalu menyanyi. Purnama ini begitu syahdu, sunyi, senyap dan merinding.
Di antara kutu dan buku, engkau bersujud. Tapi itu hanya memastikan dirimu jadi begundal. Kerjanya melamun dan menipu. Engkau memang hantu berhati salju. Jaring rindumu bau sampah dan membuat muntah. Walau engkau berjilbab dan mengaku berislam.
Inilah lagunya. Tentang lelaki dan rembulan. Yg hampir mati. Rembulan di malam hari. Lelaki diam seribu kata. Hanya memandang. Hatinya luka hatinya luka. Hatinya luka. Udara terasa berat. Karena asmara sesakkan dada. Ketika cinta terbentur dinding. Terbentur dinding. Bukalah hatiku hatimu yang selalu membeku. Agar kulihat lagi. Rembulan di wajahmu. Jangan sembunyikan hatimu padaku. Lelaki dan rembulan. Bersatu di malam. Angin sepoi-sepoi.
Kasih, taukah kau bahwa amanah konstitusi itu, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 33 UUD1945).”
Tapi saat ini apa yang dinikmati oleh rakyat dari bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya? Makin dikuasai oleh pemodal asing dan aseng yang menghasilkan bencana alam: banjir, longsor, kemacetan, kebecekan dan kesengsaraan lahir batin; menajamkan ketimpangan dan memperparah kemiskinan di seantero nusantara.
Maka, mengenangmu adalah kedalaman raga mulia. Mengingatmu adalah kebahagiaan jiwa pesona. Dari hikayatmu kubanyak tahu tentang keyakinan. Engkau adalah sejarah dahsyat yang selalu memberi dorongan. Walau ini bukan soal kerinduan dan keputusasaan. Tapi soal rasa dan harga diri. Saat tahajud dan subuh tiba.
Ayok kekasih, benahi secara revolusioner mumpung kita masih hidup. Segerakan revolusi. Aku makmum.(*)
Yudhie Haryono