Oleh Yudhie Haryono – Penikmat Sastra dan Budaya
Setelah badminton yang menyegarkan, kuteguk kopi sambil menikmati gerimis di pinggir kolam renang. Bulan hilang. Meteor absen. Katulistiwa tak menjelma. Bintang-bintang ditelan Mak Lampir. Poros maritim dunia tinggal geguyon saja. Revolusi mental hanya bualan selokan: mula petrukiyah jadi sinetron dan sejarah. Malam pekat adalah waktu bajik untuk membaca novel yang kusadur puisinya untuk kekasihnya:
“Dulu. Sebelum engkau mengulum palung samudra raya selainku. Maka, sebagaimana aku ada untuk menyuburkanmu, demikian pula kamu ada untuk menyakralkanku.” Resiprokal. Each other. Sekondan. Sekutu.
Kita. Seperti sebagaimana aku mendaki ke dua bukitmu dan membelai mesra ranting-ranting lembutmu yang bergetar dalam cahaya matahari. Maka, demikian pula kamu akan mengulum buku-buku akarku dan menyegarkannya di dalam pantatmu pada bumiku.
Bless. Tegak lurus vertikal horisontal.
Lalu. Kamu meluruh menikahi hujan-hujan bisu di tepian sawah. Terbang tanpa pernah ingin kembali mengulik luka para pertapa. Darinya kau diberi tahu bahwa: semakin republik ini tenggelam dalam demokrasi ultra liberal maka segala sesuatu tampak makin gelap.
Malam itu, saat lembur kerja di kantor baru, Kamis 29 Juni 2045, mungkin saat yang paling dramatik dan membahagiakan baginya. Rasa cinta baru karena yang lama hanya pelarian dan dendam–tumbuh semrawuh melalui jejaring pekerjaan lembur mengalir begitu saja.
Ya. Hasrat dan rasa itu timbul dari waktu bersama yang hujani rasa mesra sehingga membangkitkan libido birahi dan saling tukar senyum, usap tangan lalu kasur pasca pupur. Duit, karir dan pesona adalah ontologinya.
Meskipun di rumah ada tiga suami dan empat belas anak, namun bujukan rayuan maut lelakinya itu mampu menguncang jiwanya sekaligus menciderai perkawinan suci ketiganya. Jika suami pertama ia campakkan karena pelit, maka suami keduanya disiksa karena miskin.
Cinta buta ketiga membuatnya hobi medikur, cukur jembut, cukur alis, pijat payudara plus vagina dan menyesali gembrotnya perut. Lalu, hanyut kasmaran, yang kalau pulang hanya berak dan mengeluh.
“Aku mens, keluhnya kalau diajak bercinta sama suami sahnya. Aku lelah, jawabnya kalau diajak bermesraan di tengah malam. Aku sakit, kilahnya kalau suaminya mulai menyentuh payudaranya.” Sebaliknya, ia kini bangga jadi istri terkutuk: tak mau berpisah dari suami sahnya dan tak mau menjadi istri selingkuhannya.
Ia mau dapat keduanya dengan semau-maunya: rakus dan serakah. Ia binal sekali setiap mau pergi. Dandan secantiknya untuk selingkuhannya dan cemberut sebanyaknya untuk suaminya. Ia bangga jadi pelacur peradaban yang selalu berkilah, tak ada sifat berkah. Saran dan omongan apapun dari suami sahnya tak digubris: summum, bukmum, ngumyum. Karena jatuh cinta lagi, hati dan nalarnya kini budek, bisu dan buta. Jiwanya mati sebelum mati.
Padahal, Aku sudah sering merasa kehilangan kasihmu. Aku hanya sering dapat bekas bayangmu. Padahal aku masih seperti yang dulu. Aku adalah kuasa atas diriku. Menantimu dalam hening walau kau tak bergeming. Padahal, Aku terus berkhayal mengusap pipimu. Mencium tanganmu. Menyuburkan tanah dan tanamanmu. Menyehatkan lingkungan dan pewarismu. Menuliskan peradabanmu. Membanggakanmu ke seluruh penjuru.
Tetapi yang ada hanya ludruk politik. Mencekik. Dan, Si Tu, kekasihku itu menulis surat cintanya setelah membaca karyaku terbaru, “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana. Seperti kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana. Seperti isyarat yang tak sempat dikirimkan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada (SDD, Hujan Bulan Juni~2018).”
Buku-buku karyaku kini sudah terbang ke pantai dan ngarai. Luar dan dalam. Nyi loro kidul dan Nyi loro lor. Berbagai kalangan membaca dan meresensinya. Beberapa kawan membeli dan mendiskusikannya. Tetapi, kamu belum. Ya kamu yang belum secentipun menjamahnya. Jamahlah karyaku seperti mimpimu menjamah sejarah. Begitulah untuk Si Tu pesan ini kufatwakan dan disemogakan.
Tu, ludruk ini buat kita: Aku dan dirimu. Kita yang terpaut ruang dan waktu. Mengejar aku dalam ketinggian. Menggapai tanganku seakan tak sampai. Nafasku semakin membuncah. Sesak nafas seakan mewujud darah menggelembung dan berat. Pandangan mata nanar. Langkah semakin berat. Kepala terbebani hasrat. Senyum perlahan senyap. Tawa hilang akan ke mana menjelang.
Tu, ludruk itu memuakkan. Tapi, diriku tetap eksis. Mungkin karena ada jiwa. Ada cinta. Memancar kelembutan warna sutera. Sejuk bening menatap jingga warna. Hasratku tetap kuat. Semangatku masih ada. Tangan mengayun menggenggam akar. Langkah berpijak, bumi bergetar. Senyuman membuncah pagi. Tawa bagaikan hiasan surgawi. Menatap mata penuh makna. Cita-cinta berbangsa, makna segala kan menjelma. Kalau tak kini ya nanti.(*)