Ia bernama Arupaliasentosa. Tak ada yang sempurna. Walau wajahnya bintang lima. Mungkin karena ia sedang cantik-cantiknya. Mengalahkan bejana pualam milik raja.
Bibirnya melafalkan asma. Hatinya bersalawat badar. Jilbabnya bercadar. Lalu, mataku merasa malu jika mengingatnya. Sebab mengingatnya adalah mengetik pengkhianatan terbesar manusia di jagat raya.
Ini soal hati. Antara kota Jogja dan desa Kecila. Semakin dalam ia pergi, kali ini sejauh altar Venus dan Neptunus. Khianati janji syorga yang tidak tak termanai. Melupakan lafal dan sumpah serapah. Mendelet angka dan tulisan. Melepeh ikrar.
Maka, kadang juga ia berseri ceria. Senyum-senyum sendiri. Mengkhianati kekasih hatinya. Juga tatkala harus berpapasan malaikat di tengah pelariannya. Hey, kalian lugu dan lucu sebab berhasil kutipu, katanya gembira.
Tangannya memegang tasbih. Senin kamis ia menghapal kitab suci. Tapi kedok hidup menjadi watak utama. Pada akhirnya yang subtansi selalu terbuka di akhir sesi. Dan, hidup tak segera berakhir.
Dalam sepimu. Kini. Kueja nama itu dengan segenap nalarku, cintaku dan jihadku. Saat rintik hujan, ketika banjir menerjang, kala purnama dan terik matahari, bahkan di waktu patah hati.
Kusebut namamu. Kudzikirkan nama itu penuh rindu redam, berjam-jam. Secara pelan menghidupkan sambil mematikan bermilyar asa yang sempat ada. Nyiurnya mungkin kini tak melambai. Sungainya mungkin kini kering kerontang. Cintamu mungkin kini tanpa pantai. Apa yang sedang engkau rasakan dan hadirkan di terik siang?
Kurindukan senyum-guyon itu, sangat.(*)