Oleh Yudhie Haryono
Aku menemukannya di sela-sela para pria tampan penggemarnya. Ia tak suka buku. Apalagi puisi. Hobinya, kerja kerja dan kerja. Tetapi, kantongnya tetap tak kaya.
Ia marah kalau kuajak dialog tentang Indonesia. Baginya, negeri ini hanya perlu dicintai dengan dijual, digadai dan diobral. Maka, dijuallah yang ada. Sisanya digadai. Kalau masih ada, diobral.
Tak heran utangnya menumpuk. Tetapi, ia cuek saja. Tokh para penggemarnya makin fundamentalis. Para pemujanya makin teroris. Makin ke mari, ia makin tak tahu betapa centrifugal dirinya. Para oligark menjulur-julur lidahnya ke semua tubuhnya. Ia kegelian dan sangat menikmati. Terbukti, sering kudengar ia melenguh orgasme.
Sayang, kuasanya begitu besar. Kuasa yang tak ia baca dari buku-buku. Bukan dari puisi. Entah dari langit. Jika betul, betapa paria aku yang menemukannya.
Kemarin, kudengar ia bergumam lirih, “sebentar lagi kutandatangani keppres tentang hari kecurangan nasional dan hari kebohongan dunia.” Ini keren. Mengingatnya dalam sujud adalah mengingat nama yang bila kulafadkan menggigil seluruh jiwa ragaku. Sobahal khair ya Indonesia.
Pilihan keppres itu katanya menjawab pertanyaan wartawan, “bagaimana keluar dari jebakan kultur kebohongan dan kecurangan?” Transformasi struktural. Itu jawabannya. Dan, keppreslah ujungnya.
Tentu ini buah revolusi mental yang mental-mentul. Mungkin, ia tak sadar bahwa revolusi meniscayakan keringat, air mata, darah, pekikan suara dan dentuman kata-kata. Di atas segalanya, butuh penjahat dan komplotannya. Jika absen salah satunya, kalian bukan revolusionaris sejati (Ernesto “Che” Guevara: 1928-1967).
Kasih. Saat hatimu menjadi petruk dan sengkuni, bolehkah aku kritik keras mental dan perilakumu agar jiwa ilmiahku tak merana oleh dosa dan kutuk alam raya pada kita. Kukira, makin ke mari wasumu makin menjadi-jadi.
Kasih. Masih ingatkah kau bahwa, “tak ada yang bermartabat dari anak muda, kecuali dua hal: bekerja untuk melawan penindasan dan melatih dirinya untuk selalu melawan kemapanan-kejumudan (Ernesto “Che” Guevara: 1928-1967).”
Seperti Zasqi Rachman yang jelita bak putri raja Syakira Jelita yang luarbiyasa, ada hal penting perlu dipetuahkan sekarang. Di sini. Rasanya kita perlu menulis testimoni yang hakiki untuk direnungkan: “pada akhirnya cinta adalah keikhlasan dan rindu adalah pertapaan.”
Tentu. Manusia datang atas nama cinta. Tetapi, di republik ini banyak elite pergi bercinta tanpa asmara. Semoga kita tidak. Semoga ada waktu bertobat. Aamitabha. Aamiin.(*)