Oleh: Ady Amar, Kolumnis
Betapa kokohnya seorang Surya Paloh, mental pun bak baja. Tak kecut dan panik dirundung perlakuan tak sepatutnya, dan itu karena pilihan sikap politiknya yang berbeda dengan rezim Jokowi. Karenanya, ia jadi sasaran untuk diinjak keras padahal ia masih dalam satu koalisi dengan rezim Jokowi.
Tidak ada yang mampu menjelaskan mengapa Surya Paloh menerima perlakuan tidak sebagaimana mestinya, perlakuan tak patut pada kawan yang punya andil besar menjadikan Jokowi seperti sekarang ini. Perlakuan tidak dicukupkan di situ, tapi juga kader Partai NasDem, yang menjabat menteri dicokok ditersangkakan dalam dugaan korupsi.
Sungguh menakjubkan sikap kokoh yang diperagakan Surya Paloh itu. Meski risiko yang dihadapi sungguh berat. Langkah mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai Capres NasDem, yang lalu diikuti PKS dan Demokrat–3 partai tergabung dalam Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP).
Tak ada yang mampu menjelaskan, kenapa Anies Baswedan tak dikehendaki rezim ini. Tidak jelas pula oleh sebab apa, yang lalu langkahnya dengan sangat keras coba dihentikan. Tapi spekulasi muncul yang itu pun sulit dibuktikan saat-saat ini, bahwa Anies tak disukai oligarki.
Dan, itu berdampak menghantam keras kawan seiring–Surya Paloh dan NasDem–yang dari awal bagian utama menjadikan dan membersamai Jokowi sebagai presiden, bahkan hingga 2 periode. Sulit bisa dijelaskan dengan nalar sehat.
Surya Paloh, dan itu NasDem, memilih jalan sendiri di Pilpres 2024, meski tetap membersamai Jokowi dalam koalisi sampai masa jabatan Presiden Jokowi berakhir. Artinya, NasDem memegang komitmen bersama Jokowi sampai akhir jabatannya. Sedang pasca Jokowi, NasDem memilih Anies Baswedan, pilihan yang tidak sama dengan yang diinginkan Jokowi, yang memilih figur lainnya.
Kebersamaan NasDem tidak mesti sesuai dengan keinginan Jokowi perihal siapa penerusnya. Lagian apa kepentingan dan urusan Jokowi memaksakan kehendak agar pilihan NasDem sama dengan pilihannya.
Sepertinya memang baru Presiden Jokowi, tidak pernah terjadi pada presiden-presiden sebelumnya, yang akan mengakhiri jabatannya sibuk mencari figur penggantinya dengan cara mengganjal dan menjegal figur yang tak dikehendakinya, dan itu Anies Baswedan.
Cawe-cawe ala Jokowi dalam menentukan figur yang dikehendaki dan boleh berkontestasi di Pilpres 2024, yang itu dengan memukul siapa pun yang coba-coba bersikukuh mencapreskan Anies Baswedan, itu bentuk pengerdilan demokrasi.
Karenanya, NasDem dijadikan bulan-bulanan dengan 2 menteri–Menkominfo Johnny G. Plate dan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo–dari 3 menteri yang bergabung dalam kabinet Jokowi-Ma’ruf Amin ditersangkakan korupsi. Jika memang benar apa yang ditersangkakan itu, maka keharusan bagi yang bersangkutan mempertanggungjawabkan. Tapi pada kasus ini aroma politiknya jauh lebih terasa ketimbang hukum yang ingin ditegakkan.
Mengganggu Surya Paloh personal, dan itu bisnisnya, dan mencomoti kader NasDem dengan berbagai kemungkinan yang bisa ditersangkakan oleh motif yang mudah dicari, sepertinya itu akan terus dilakukan. Hukum menjadi tajam pada yang dianggap lawan, tapi tumpul pada kawan, itu bukan isapan jempol. Kawan yang bertumpuk kasus tak diusik sedikit pun, itu agar jadi penurut dengan kemauan rezim, mudah diseret ke sana kemari.
Karenanya, partai tertentu terpaksa kompromi dengan kekuasaan, jika tidak ingin perbuatan koruptif para ketua dan elite partainya diseret ke pengadilan. Partai menjadi tidak berdaya dalam dekapan rezim. Jadi sandera politik. Partai yang tersandera dosa politik tidak akan berani mengkritisi kebijakan salah rezim. Karenanya, sulit diharapkan bisa bekerja dan membela kepentingan rakyat.
Tapi sikap kokoh dipertunjukkan Surya Paloh yang tak gentar meski bisnisnya dihancurkan sekalipun, dan kader partainya diprotoli dibuat tidak nyaman. Konsistensi sikap seorang Surya Paloh bukannya mengendur, tapi justru makin kokoh bak karang yang tak goyah meski digempur ombak besar. Sadar dengan pilihannya. Maka, narasi yang keluar dari mulutnya mencengangkan. Sulit terbayangkan narasi itu bisa muncul dari seorang pebisnis papan atas, dan sekaligus politisi yang biasanya berwatak pragmatis.
Abang ini jangankan masuk penjara, dibunuh pun tidak akan berubah dari mendukung Anies Baswedan.
Itulah sepenggal pernyataan heroik Surya Paloh di hadapan elite partainya. Dan, itu sebagai penegasan akan sikapnya yang tak mungkin berubah untuk terus mendukung Anies Baswedan. Anies itu ibarat cinta mati Surya Paloh. Cinta mati menghadirkan perubahan negeri ke arah lebih baik.
Surya Paloh, dan itu NasDem, memilih Anies Baswedan sebagai capres, tentu sudah dihitung matang dan cermat, bahkan risiko yang bakal dihadapi. Maka, gempuran yang ia dapatkan saat ini tak akan menyurutkan langkah menghadirkan Anies Baswedan, anak muda yang sudah dikenalnya jauh hari sebagai pribadi yang punya integritas, intelektualitas, dan elektabilitas tinggi.**