Oleh Arif Budy Pratama
Penulis adalah Mahasiswa Master in Public Administration, University of Exeter, UK
Demo besar-besaran sopir taksi konvensional di depan Gedung DPR belum lama ini merupakan pertanda persaingan usaha antara angkutan umum berbasis aplikasi online dan angkutan umum konvensional sudah berada pada titik kulminasi. Kompetisi pasar sebenarnya menguntungkan bagi konsumen/pengguna angkutan umum, tetapi jika sudah menimbulkan chaos dan meluas menjadi bentrok fisik menjadi counter-productivebagi aktivitas sosial ekonomi masyarakat.
Dalam perspektif ekonomi dan bisnis, inovasi menjadi kata kunci kesuksesan. Siapa yang berinovasi dan mampu beradaptasi dengan lingkungan, dialah yang akan menjadi pemenang. Dalam kasus taksi online vs konvensional, inovasi menjadi senjata utama dalam memenangkan persaingan pasar. Saat ini masyarakat lebih memilih jasa layanan yang menawarkan kemudahan, kepraktisan dan ekonomis dari segi harga. Di sinilah angkutan umum berbasis aplikasi online mengambil kesempatan memenuhi ekspektasi konsumen.
Inovasi khususnya dalam bidang teknologi informasi telah berhasil mengubah gaya hidup masyarakat. Kemajuan teknologi informasi menjadi aset utama aktivitas perekonomian dunia. Saat ini dapat kita lihat bagaimana perusahaan-perusahaan global menguasai pasar hanya dengan server dan aplikasi yang terhubung jaringan internet. Air bnb misalnya menyediakan layanan akomodasi murahdi seluruh dunia tanpa memiliki satu pun hotel. Netflix menyediakan layanan menonton film terbaru tanpa memiliki gedungbioskop. Atau alibaba.com, sebagai retailer terbesar dunia yang tidak memiliki gudang penyimpanan barang. Kekuatan mereka ada pada aplikasi yang terhubung jaringan internet yang menawarkan kemudahan dan fleksibilitas (simplicity), biaya lebih murah (low cost) dan tingkat kenyamanan yang lebih tinggi (convenience) yang menjadikan unggul untuk bersaing dengan proses bisnis konvensional.
Di Indonesia, potensi penggunaan internet baik dalam sektor privat maupun publik/pemerintah sangat menjanjikan. We are social (2015), salah satu institusi survey berbasis di Singapura mencatat bahwa pengguna intenet di Indonesia sudah mencapai 72.7 juta dengan penetrasi internet 28% dari total penduduk. Dari segi waktu, rata-rata penggunaan internet di Indonesia diperkirakan 2 jam 58 menit dalam sehari. Angka statistik tersebut memberikan indikasi bahwa sebagian masyarakat memnfaatkan atau cenderung mengunakan internet dalam aktivitas mereka.
Pelajaran kegagalan beradaptasi dapat kita lihat apa yang terjadi dengan Nokia! Sebagai salah satu raja produsen telepon selular di jamannya, sekarang mengalami kebangkrutan karena tidak mampu beradaptasi dengan trend pengguna smart phone. Era penggunaan telekomunikasi telepon genggam pada masa kejayaan nokia mengandalkan daya tahan baterai dan tingkat kekuatan bahan. Ekspektasi itu tidak lagi menjadi prioritas dalam era information age saat ini yang mengandalkan fitur interaktif dan konektivitas.
Kembali pada konflik taksi online dan konvensional, siapa yang seharusnya beradaptasi untuk berkompetisi secara sehat dalam memenangkan persaingan pasar? Mengacu pada konsep kompetisi dan inovasi dalam perspektif ekonomi dan bisnis, semua perusahaan bebas melakukan inovasi proses bisnis termasuk menggunakan aplikasi berbasis internet online dalam menjalankan aktivitas bisnis. Mengapa taksi konvensional mengalami penurunan penumpang seharusnya menjadi sinyal bagi manajemen perusahaan taksi konvensional untuk beradaptasi dengan trend dan ekspektasi pengguna layanan angkutan umum dengan penggunaan aplikasi online. Bahkan setelah kemunculan go-ojek, sebenarnya pangsa pasar taksi telah berpindah ke layanan ojek online.
Pelajaran bagi Regulator
Secara umum, regulasi di Indonesia belum menunjukkan kondisi yang memuaskan. Pernyataan Presiden Jokowi ini di awal pemerintahannya, berjanji untuk melakukan de-regulasi dan debirokratisasi demi terwujudnya efisiensi, mengurangi red-tape dalam birokrasi dan mempermudah investasi dan bisnis. Burden of Government Regulationyang mengindikasikankelemahan regulasi berada pada titik 4,0 dari skala 1-7 yang mempengaruhi indeks daya saing global menempatkan Indonesia di peringkat ke-34 dari 144 negara (World Economic Forum, 2015).
Bagaimana posisi pemerintah sebagai regulator? Pemerintah dengan instrumen kebijakan dalam bentuk regulasi muncul untuk mengatasi kegagalan pasar (market failure) dan berupaya mewujudkan keadilan bagi pelaku usaha. Berpikir ulang mengenai regulasi menjadi sangat krusial dalam berbagai upaya penyelesaian permasalahan publik. Proses pembentukan regulasi harus lebih berkualitas dalam arti mampu memproyeksikan tantangan dan potensi permasalahan sehingga kompleksitas yang mungkin muncul dalam implementasi dapat diatasi dalam regulasi itu sendiri tanpa harus mengubah atau merevisi aturan. Regulatory Impact Assesment (RIA) sebagai analisis dampak regulasi menjadi sangat penting dalam pembentukan regulasi.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dan PP Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan belum mengakomodir angkutan berbasis aplikasi online sebagai objek pengaturan. Kondisi ini semakin dilematis mengingat magnitude permasalahan yang sampai mengarah pada konflik fisik, serta waktu penyelesaian yang mendesak. Tensi antara de-regulasi untuk mendukung competitiveness atau mengintervensi melalui regulasi sebagai jawaban keadilan pelaku usaha, dalam hal ini,terkait dengan pajak dan izin usaha menjadi pilihan yang harus diambil secara bijak, objektif dan win-win solution bagi semua pihak. Mendorong inovasi bagi pelaku usaha angkutan umum konvensional agaknya bukanlah pilihan kebijakan yang buruk untuk diambil oleh pemerintah karena selain menciptakan iklim kompetitif dan inovatif juga menguntungkan pengguna layanan dari segi pilihan.